(Lembaran dari kisah sang seniman)
Banyak yang akan terjadi dalam satu waktu. Seperti halnya, lelaki yang tampak sedang melakukan dua hal, mendengar dan menuangkan segala emosinya dalam karya yang akan dipublis.
(Ruangan Seni Pribadi milik San Jade)
San Jade, laki-laki yang berusia 22 tahun. kini ia mahasiswa semester 8 Université Panthéon Sorbonne yang berada di Paris. Ia merupakan seorang keturunan campuran Indonesia-Prancis. Ia tumbuh menjadi seseorang yang susah bersosialisasi, terlihat kaku dan tidak mempedulikan lingkungan sekitarnya. Apapun itu yang terjadi, Ia akan selalu fokus dengan karya seninya.
Laki-laki itu tampak berdiri dan memperhatikan lukisannya yang baru setengah jadi, Seperti meneliti dan menyusuri detail apa lagi yang harus dilengkapi. Ia bergumam dan tenggelam dalam fantasinya.
“Bahkan aku tak tau jati dirimu, Kita tak pernah bertemu sebelumnya. Aku hanya menuruti Imajinasi ku yang berjalan sesuai semua alunan musik di telinga ku.”
Dia kebingungan dan selalu bertanya bagaimana bisa ia melukis seseorang yang tak pernah ditemuinya. Ia kembali duduk ke meja dekat lukisannya itu, sambil merenung perlahan Ia terlelap. Tenggelam dalam mimpi yang selalu mengatakan, Siapa perempuan itu? Siapa yang aku lukis selama ini. Tiba-tiba terdengar suara getar ponsel yang menandakan bahwa seseorang mengirim pesan. *ddrrrrttt-drrrttt* Ia terbangun dari tidurnya dan langsung mengecek ponselnya.
“Anna.. ah, info lomba lagi? Seharusnya kalian tau, Aku ini manusia. Bukan robot yang bisa diforsir untuk mengikuti lomba” gumamnya sambil menyerngit.
Namun, meski dia Berkata seperti itu. Dia tetap saja akan mengikuti lomba yang ada, entah bagaimana pun peraturan dan hadiah dari lomba yang ia ikuti. Dia pun menghabiskan waktu hari itu untuk membalas pesan temannya, Annara Swan. Perempuan itu sudah cukup lama berteman dengan San jade, Mereka sudah dekat sejak duduk dibangku SMA. Ia pun selalu menjadi Orang pertama yang memberi Jade saran dan semangat sebagaimana teman yang sangat dekat.
Dilain sisi, Sang Musisi muda ternama sedang menulis lirik untuk lagu yang sangat Ia harapkan bisa diunggah dan tenar di Publik. Gadis itu setengah hati menyesali kenapa waktu Ide ini muncul, Ia tak segera menulis di buku hariannya. Sepaling tidak, Ia bisa berfantasi tentang mimpi indahnya kala itu. Sambil merenung, Ia mencoba menenangkan pikiran kacaunya dengan memainkan pianonya dengan lagu yang berjudul Merry Go Round Of Life di kamarnya. Tampak juga sampah kertas yang sengaja Ia tumpuk karena terlanjur frustasi karena lagunya yang tak kunjung rampung.
(Kamar pribadi milik Catharine Abigail)
Ia adalah Catharine Abigail, Gadis yang berusia 20 tahun. Kini Ia Mahasiswi semester 6 Conservatoire national supérieur de musique yang berada di Paris. Ia merupakan seorang keturunan asli Indonesia yang tinggal dalam kesuksesannya dalam berkarya disana. Ia mendapat beasiswa karena mengikuti banyak ajang lomba mendunia bernyanyi sambil memainkan Piano.
Hari demi hari dijalani, seperti biasa. San Jade menghampiri ruang seni kampus setelah mata kuliah berakhir, walau hari itu terasa berat karena tugas yang melanda. Ia memasang earphone dan mendengar lagu sambil memakai celemeknya, duduk didepan kanvas lalu merenung sejenak untuk berfantasi tentang apa yang akan Ia tuangkan pada kanvasnya itu. Perlahan tenggelam karena alunan musik yang didengar, tiba- tiba mendapat ide untuk memulai karya barunya.
Laki-laki itu bergumam “Aku tau akan melukis siapa.”
Ia pun mulai melukis dengan tenang, tanpa mempedulikan gemuruh lingkungan sekitar ruangan itu.
Kini sudah dua jam setengah dan laki-laki itu hampir selesai dengan lukisan nya, Ia berhenti sejenak dan pergi ke cafe kampusnya itu. Dia menghampiri kasir dan memulai transaksi.
“Saya pesan medium hot chocolate with mini croissant ya” ucap San Jade dengan lembut.
Pihak kasir pun membalas “Ada tambahan lagi?”
Setelah berpikir sebentar, San Jade pun berkata “topping croffle.. Matcha”
Setelah itu, pihak kasir memastikan pesanannya sudah benar lalu melakukan pembayaran. Dengan waktu kurang lebih 8menit, pesanan pun jadi dan sudah ditangan Jade. Ia berjalan santai menuju dan memilih menghabiskan makanannya di taman dekat kampus. Sambil menikmati suasana sekitar, Ia meneguk cokelat panasnya. Saat tengah asik meneguk cokelat panasnya. Tiba-tiba ada seorang perempuan yang berjalan di depannya.
Jade yang tengah asik meneguk cokelat panasnya pun melirik siapa yang baru saja berjalan di depannya. Ia merasa tak asing dengan seseorang tersebut.
“Aku seperti pernah melihatnya… Tapi dimana ya?” gumamnya heran.
Setelah lama berpikir Ia pun tidak mendapatkan jawaban. Ia pun memutuskan untuk kembali ke ruang seni untuk melanjutkan lukisannya yang hampir jadi.
Saat dia kembali ke ruang seni. Ia terkejut melihat Anna yang sedang menunggu kedatangannya.
“Hey, Kamu dari mana aja? Aku daritadi keliling cariin kamu!” ucap Anna dengan nada kesal.
“Aku? tadi membeli cemilan sebentar” balas Jade dengan kaku, kemudian Ia duduk di kursi ruang seninya.
“Jade, Aku kesini bawa kabar buruk.. Bukan tentang lomba atau hadiah lomba, ini prihal pementasan. Aku dapat info dari dosen pembimbingku, katanya bakal ada projek besar yang jadi syarat kelulusan prodi fakultas seni musik. Beliau minta saran ke Aku tentang pementasan bagusnya gimana.”
Jade yang mendengar berita tersebut bertanya kepada Anna. “Lalu?”
Anna mendengus kesal “Kamu ini! Harusnya Kamu kasih ide.”
Jade menjawab “Jangan di ambil pusing, usulkan saja pementasan kolaborasi seni musik dan melukis.”
Jawaban Jade ini membuat Anna bahagia, Ia pun langsung pamit pada Jade untuk pergi dari ruangannya dan menghubungi dosennya lewat telpon, setelah menutup telpon, Anna teringat akan teman lamanya yang sekarang terkenal dikampus karena bakatnya dalam seni musik, Ia langsung pergi ke fakultas seni musik untuk mencari info tentang teman lamanya itu.
Sesuai info yang Ia dapat, Anna mencari teman lamanya ke ruang musik. Sesampainya Ia disana, Anna sontak membeku melihat seorang gadis cantik yang tengah bermain piano.
Setelah sejenak memperhatikannya, Anna menghampiri gadis itu dan memulai topik dengan sapaan.
“Kate.. Catharine?” Sapa Anna.
Gadis itu berhenti memainkan pianonya dan menghampiri Anna sambil berkata “Anna? Hai, Apa kabar?” mereka saling menghampiri dan langsung berpelukan. Setelah mereka melepas pelukan satu sama lain, Anna menjawab pertanyaan Catharine dengan senyuman. “Kabarku baik, baik banget. Kamu gimana? Keliatannya lebih sibuk ya dari yang dulu.”
Catharine yang mendengar itu tertawa kecil dan membalas “Pastinya baik, buktinya kita masih bisa ketemu. Tumben Kamu mampir kesini, ada apa?” ucapnya sambil tersenyum.
“Sebenarnya aku kesini disuruh dosenku, Pak Edward. Beliau titip salam juga buat kamu. Kira-kira kalau ada tugas kolaborasi dalam pementasan dan bakal melibatkan anak seni lukisan gimana Kate?” ucap Anna bersemangat
“Ya Tuhan! Kebetulan Aku ada ide buat itu, bakal ku jelasin. Itupun kalau diperkenankan..” balas Catharine dengan semangat yang kian terlihat.
Anna pun meyakinkan Catharine dengan berkata “Pastinya boleh dong, jelasin aja”
“Sekarang Aku lagi dalam proses bikin lagu, Anna. Rencananya bakal ditampilin entah di pementasan mana. Aku mau kolaborasikan seni musik dan melukis, tapi Aku mau lukisannya bakal beda. Bedanya, si Pelukis pakai pasir sebagai medianya. Dia bakal melukis sambil dengar Aku nyanyi” Ucapnya untuk menjelaskan.
“Keren banget! Aku punya teman yang kebetulan pinter banget ngelukis, gimana kalau kita trade.. Aku bantu kamu buat komunikasi ke dia, Kamu bantu Aku presentasi rencana ini ke Pak Edward. Jatuhnya simbiosis mutualisme” balas Anna sambil menambah sentuhan lelucon yang terselip di idenya.
“Bisa aja dan bisa banget! Kabarin aja apa yang harus Aku lakuin, jangan lupa sampaikan ke temanmu.” ucap Catharine tersenyum
“Siap Bu Bos!” Ucap Anna yang menandakan bahwa topik berakhir.
Setelah Anna mendapat persetujuan sang musisi, Ia segera pergi ke ruang lukis Jade. Ia pun mengetuk pintu tersebut. “Masuk” ucap Jade kaku dengan nada lembut seakan mempersilahkan Anna masuk.
“Jade, Kamu mau bantuin aku ngga? Please… Kolaborasi sama temenku ya? Dia musisi sekaligus penyanyi. Dia butuh banget bantuanmu…”
Seperti dugaannya, Jade menolak tawaran itu. Tapi dia terus membujuknya, karena sudah lelah mendengar ocehan Anna di mana pun Ia berada selama seharian, Ia langsung mengiyakan tawaran yang ada.
“Gimana Jade? Bisa ngga jangan remehin tawaranku ini, dapet pahala tau bantuin teman asal ikhlas.” Tanya Anna pada Jade.
“Bisa. Suruh saja dia untuk menemuiku besok, di Taman kampus.” ucap Jade.
“Serius? Sesingkat itu? Kamu emang aneh, orang teraneh yang pernah aku temuin. Minimal tuh tanya dulu siapa orang yang ngajak kamu, gimana latar belakang atau sepaling tidak relasinya.” Balasnya sambil mendengus kesal.
“Siapa namanya?” ucap Jade sambil menatap Anna.
Anna pun menjawab pertanyaan yang menurutnya tidak seberapa penting itu “Kate, Catharine Abigail.”
Jade pun mengiyakannya, lalu Anna pergi dengan beribu kekesalan yang terpendam lantaran Jade selalu menjawabnya dengan singkat, padat, jelas.
Keesokan harinya Jade pergi ke Taman kampus sesuai apa yang Ia bicarakan dengan Anna di chatting Whatsapp. Tak lama Ia menunggu, seseorang datang menghampirinya.
“Halo, kamu San.. Jade?” ucap gadis itu membuka topik.
Dengan ekspresi datar, Jade membalas “Iya, Saya San Jade.”
Gadis itu tersenyum lega sambil berkata “Syukurlah, Aku Catharina Abigail. Temannya Anna.
Jade pun membalas “salam kenal.”
Hari berlalu dengan mereka yang membahas kolaborasi, mereka menyusun jadwal pertemuan seminggu tiga kali dalam sebulan. Mereka juga saling berbagi kontak agar lebih mudah saat berkomunikasi. Keduanya sama-sama canggung karena tidak pernah bertemu sebelumnya, bahkan jika memang bertemu mereka hanya saling melihat selintas. Setelah melakukan diskusi dan berkenalan satu sama lain, mereka pun menyudahi pertemuan kala itu. Satu kata yang ada dibenak Catharina pada kesan kali pertama bertemu Jade adalah “Attractive.”
Jade kembali ke ruamahnya, Ia kembali ke ruang seni pribadinya dimalam hari. Awalnya Ia melihat karyanya yang terpanjang, namun lama-kelamaan pandangannya tertuju pada lukisan besar yang ditutupi kain putih. Segera menghampirinya, Jade langsung menarik kain putih itu.
Nyatanya, Ia tersadar bahwa itu lukisan yang belum pernah diselesaikan karena detail yang menyimpan beribu makna.
Memang hanya lukisan yang terkesan simple, tapi Jade ingin menambah makna “Perempuan” yang sebenarnya. Dimalam itu, Jade memutuskan untuk melanjutkan lukisannya walau Ia tau jika biasanya saat melanjutkan lukisan itu, membuat dia lebih emosional. Biasanya seketika buntu ide saat melihat lukisan itu, kini Ia merasa bisa melanjutkannya perlahan. Entah bagaimana.
Di sisi lain, Catharine memilih untuk duduk didepan pianonya sambil mencari lirik dan nada yang pas untuk sebuah lagu. Dimana Ia terinspirasi dari mimpi indah, bahkan bisa disebut mimpi terindahnya. Ia teringat Jade yang begitu menarik perhatiannya. Merasa tenggelam pada suaranya yang menenangkan, namun harus pura-pura professional ketika berdiskusi. Ajaibnya, malam itu Catharine langsung bisa meneruskan lirik lagnya sedikit demi sedikit. Setelah itu, Ia mencari informasi tentang Jade, dan menemukan pernyataan bahwa Jade seorang piatu yang hidup bersama ayahnya dengan seni kesastraan.
Seminggu berlalu sejak pertemuan pertama mereka, sesuai perjanjian. Hari ini mereka memilih mencari refrensi di museum, keduanya pun langsung bertemu disana.
Catharine memulai topik dengan mengatakan “Kita harus membangun chemistry biar feel makna lagu dan lukisan tersampaikan ke penonton, gimana kalau saling kenal satu sama lain dulu? Kamu setuju ngga?” Sebenarnya Ia merasa malu karena hal yang dipinta tidak semudah itu, apalagi dengan seorang introvert seperti Jade.
Hal tak terduga dating ketika Jade menjawab “Apapun bisa saya lakukan untukmu, demi pementasan nanti.” Mendengar itu, siapa yang tidak kaget? Catharine bahkan setengah mati menutupi salah tingkahnya. Ia pun melanjutkan topic dengan “Apa menu favorit atau yang biasa kamu beli didekat kampus?”
“Hot chocolate, biasanya saya pesan mini croissant juga, dengan topping croffle matcha. Kamu?”
“Pearl dust macaroon starbucks, aku tim add request extra macaroon. Kayanya kesukaanmu unik, mau saling coba pesanan ngga kapan-kapan?” ucap Catharine iseng, namun Jade menjawabnya dengan serius “Bisa, gimana kalau besok? Saya kasih tau café nyaman didekat kampus.”
Hari itu mereka saling mengobrol sambil berkeliling museum, mengumpulkan refrensi untuk kolaborasinya. Mereka juga beberapa kali saling memotret foto dan mengunggahnya di social media. Pada pertemuan selanjutnya.
Sesuai janji mereka bertemu di kampus, lalu Jade mengajak Catharine ke cafe´ langganannya, mereka saling bertukar minuman dan mencicipi makanan satu sama lain. Hari itu juga mereka latihan bersama. Setelah latihan bersama dan menghabisakan waktu seharian Catharine memutuskan untuk pulang ke rumahnya karena hari sudah gelap.
Hari ini adalah pertemuan ketiga mereka. Mereka memutuskan untuk ke pantai. Mereka berbincang sebentar mengenai kolaborasi mereka. Tak lama kemudian muncul sebuah ide di otak Catharine, Ia ingin berbuat jail pada Jade. Ia mengambil segenggam pasir lalu Ia melempar pasir itu ke Jade. Jade yang merasakan sesuatu dilempar ke tubuhnya Ia langsung menatap kearah Catharine.
“Hey apa yang kau lakukan!?” ucap Jade saat melihat Catharine yang menjauh dari nya.
“Hanya bermain sebentar” Ucap Catharine meledeknya.
Jade pun berlari kearah gadis yang meledeknya, Catharine yang melihat Jade yang berlari cepat kearahnya Ia pun mempercepat larinya namun akhirnya Catharine terperangkap dalam dekapan Jade.
“Udah-udah aku capek, lagian kita kesini awalnya kan buat cari refrensi.” Ucap Catharine.
“Ulah mu sendiri, kenapa kau mengotoriku dengan pasir?” ucap Jade dengan nada kesal, Catharine pun perlahan lepas dari dekap laki-laki itu. Setelah itu, mereka memilih pergi ke kedai dipinggir pantai untuk istirahat sambil mengobrol. Ditengah obrolan mereka, Catharine tiba-tiba berkata “Aku pernah lakuin ini sebelumnya, di mimpiku. Ini semua, mirip banget…”
Jade menjawab “Aku pun pernah dalam situasi yang sama, ada sebuah lukisan yang ku buat, aku belum pernah melihat sosok itu tapi aku merasakan seperti pernah beretemu sebelumnya. Maka dari itu lukisan itu belum pernah bisa aku selesaikan.” Catharine pun sontak menjawab “Beneran? Kebetulan banget” dan Jade membalas “Mungkin takdir.” jawaban itu… Tidak terlalu menjadi pikiran, mereka langsung mengganti topik sampai akhirnya waktu menandakan sudah sangat sore, dan mereka menyelesaikan pertemuan tersebut.
Hari berlalu begitu lambat, mereka berdua menjalankan hidup dengan kesibukannya masing- masing. Jade yang sibuk dengan lukisannya dan ocehan Anna yang melanda, Catharine yang sibuk dengan lagunya yang akan dipentaskan. Kini, jadwal pertemuan mereka yang ke-3. Catharine mengabari untuk bertemu di taman kampus, Ia pun segera kesana. Dengan semangat dan penantian, Catharine pun menunggu rekannya itu yang tak kunjung sampai. Kini sudah hampir 2jam gadis itu menunggu Jade dengan cuaca yang tadinya terik matahari melanda, kini awan membawa kelabu yang tidak mengenakkan pikiran. Dia berulang kali menelfon sang rekan namun selalu di reject, Catharine pun memutuskan pergi ke cafe´ dekat kampus untuk memesan makanan karena perut dan seisinya sudah gemetar menahan badan yang ingin tumbang, mengingat imunnya sedang menurun. Saat tengah makan, Ia terkejut bukan main karena melihat Jade yang masuk kedalam cafe´ bersama Anna; Kenapa harus dia? Apakah Catharine tidak sepenting Anna?
Saat itu Catharine tidak terlalu ambil pusing karena tahu bahwa Anna juga teman Jade, hubungan mereka pun lebih dekat daripada Jade dengannya.
Keesokan harinya, tepat pada pertemuan keempat Jade dan Catharine. Kali ini, Jade yang lelah mencari Catharine sepanjang hari. Ternyata, rekannya itu tidak ada dikampus karena sakit. Jade pun langsung menghubungi Catharine dengan rasa panik yang melanda namun gadis itu tidak menghiraukan panggilan dari kontak Jade. Karena itu, Jade langsung mengirim pesan permintaan maaf atas kesalahannya kemarin walau tanpa menjelaskan penyebabnya.
Dilain sisi, Catharine demam tinggi dengan vertigo yang kambuh. Beberapa kali terkena panic attack karena memikirkan komentar buruk tentangnya di social media. Hari itu menjadi sangat buruk baginya, Catharine semakin menganggap dirinya bodoh dan khawatir dengan pementasan yang akan datang.
Hari berlalu dengan kedua rekan yang saling tidak mengabari. Sampai suatu ketika mereka tidak sengaja bertemu di taman kampus. Awalnya mereka hanya diam saja sampai keheningan melanda mereka, Jade yang merasa keheningan itu akhirnya membuka pembicaraan. “Maaf.” Itulah yang di ucapkan Jade setelah lama mereka tidak berjumpa. Jade tau dia salah karena melupakan pertemuannya. Catharine yang mendengar hal tersebut hanya bisa tertawa sedih.
“Buat apalagi? Asal kamu tau. Selama 2 Jam, aku nungguin kamu dengan cuaca yang gajelas, berulangkali aku spam telfon dan chat tapi hasilnya nihil-”, “Dengan kondisi hampir pingsan aku ke cafe´, disana aku malah liat kamu jalan sama Anna.”
Jade yang mendengar hal tersebut terkejut, sedangkan Catharine Ia kecewa dengan sikap Jade.
“Kenapa kamu lebih pilih jalan sama Anna? Apa dia udah ada janji sama kamu? Sampai kamu lupa sama pertemuan kita” Ucap Catharine kecewa.
“Saya tau saya salah, Anna Tiba-tiba mengabari bahwa Saya harus mengikuti lomba dihari itu.”
Catharine yang mendengar hal itu membuat Ia marah,
“Kenapa kamu ga nolak? Aku yang lebih dulu buat janji sama kamu!” ucap Catharine dengan menahan amarah.
“Kamu lupa dengan perkataan saya? Iya tetap iya dalam perjanjian, Karena saya bukan orang yang plin-plan seperti kamu.” Balas Jade, mendengar itu Catharine sakit hati.
“Aku? Plin-plan? Kamu juga orang yang egois. Kamu lebih pentingin Anna padahal dia cuma temanmu!”
Jade pun menjawabnya singkat “Kita juga hanya teman.”
Catharine tidak percaya Jade berbicara seperti itu. “Kamu gabakal bisa ngertiin perasaan kecewa perempuan itu gimana karena gapernah dirawat sama seorang perempuan!”
Catharine pergi dengan tangisan yang pecah, meninggalkan Jade seorang, sedangkan Jade tengah termenung dengan ucapan Catharine.
Beberapa hari mereka tidak bertemu maupun mengabari satu sama lain. Hari terus berlalu sampai pada dimana pementasan akan berlangsung. Sebelumnya mereka menghilang, tidak ada latihan bersama dan konfirmasi ke pihak kampus.
Keduanya saling tidak berani melihat satu sama lain ketika bertemu, berpura-pura tidak pernah saling mengenal. Hari itu Catharine terlihat kacau, dengan rambut sisa sebahu dan mata sembab yang tampak seperti zombie. Sementara Jade, tampak kaku seperti biasanya namun hari ini taka da senyum sedikit pun. Ia begitu murung.
Sampailah dimana pementasan dimulai, keduanya bersiap dan naik keatas panggung. Catharine mulai memainkan pianonya dan menyanyikan lagu yang selama ini Ia garap. Tak mempedulikan apa yang terjadi pada sekitarnya, Ia tenggelam pada karyanya.
Oh, shall I stay? Would it be a sin? Oh, if I can’t help… Falling in love… With… You.
Dilain sisi, Jade tengah membuat gambaran dari beribu makna ucapan Catharine, sesuai alunan piano yang terpintas ditelinga. Menciptakan keserasian diantara pasir yang Ia gunakan, menyatukan keindahan dan segala emosi yang Ia rasa saat mendengar merdunya suara Catharine.
Setelah penampilan mereka selesai, keduanya ganti baju diruangan masing-masing. Jade memutuskan pergi mengecek keadaan sang rekan, namun ketika Ia masuk keruangan Catharine, Jade kaget melihat Catharine yang menangis dan tidak bergairah untuk menjawab ketukan pintunya. Jade menghampiri gadis itu, Ia berusaha menenangkan Catharine.
“Maaf udah jadi partner yang egois…” ucap Catharine ketika Ia sadar bahwa Jade ada didepannya.
“Tidak usah dipikirkan, seharusnya saya yang minta maaf. Maaf karena berbicara jelek waktu itu. Saya tidak bermaksud membuatmu kacau seperti ini” balas Jade.
Jade pun menenangkan Catharine, beberapa saat kemudian Ia mengajak gadis itu untuk ikut ke ruang seni pribadinya. Ia ingin Menunjukkan lukisan yang telah lama Ia kerjakan. Jade menarik kain putih yang menutupi lukisan itu. Saat Catharine melihat lukisan itu, sontak kaget dan tidak bisa berkata-kata dengan apa yang Ia lihat, begitu mirip dengannya. Dengan melihat kalimat di bawahnya “Sang merayu yang merayu matrik. Catharine Abigail”
“Lukisan ini kenapa mirip banget sama aku, kenapa bisa?” ucap Catharine yang masih terkejut karena lukisan buatan Jade.
Jade pun membalas “Karena kamu yang kasih tau saya, bagaimana sosok perempuan… Perempuan penting dalam pementasan kisah sang seniman yang hidup dalam kesedihan.”
Hari itu berlalu dengan membuktikan bahwa memang banyak yang akan terjadi, dan yang telah berlalu biarlah berlalu tanpa mengungkit luka dimanapun itu.